Translate

Selasa, 16 November 2010

cerpen p1 ku ;)



CERPEN
AMI









 





AMI

“Ini sungguh menyiksaku. Apakah  ini azab?” lirih Ami
Sudah beberapa bulan ini Rina memperhatikan Ami kelihatan gusar dan sering menyendiri. Sesuatu telah terjadi padanya. Nampaknya ia dalam sebuah dilema yang besar. Tapi sahabatnya itu nampaknya tak mau berbagi dengannya.

***

“Ami ayo sarapan nanti terlambat ke sekolah” terdengar suara seorang Ibu
“Ya Bu tunggu sebentar ” sahut Ami. Sambil memasukkan buku-bukunya kedalam tas.
Setelah sampai di meja makan Ami langsung memakan sarapan yang telah disiapkan Ibunya.
“Bu, mana ayah? lembur lagi?”
            “Mungkin mi, tapi Ayah tidak ada memberitahu Ibu, tidak biasanya Ayah seperti ini” jawab Ibu cemas
            Udah coba telepon Bu?
            Udah, tapi hpnya tidak aktif,
“Ah... udah jam tujuh kurang seperempat, gawat bisa telat nich....”
“Ya udah Bu, Ami berangkat dulu Assalamualaikum”
Setelah berpamitan, aku langsung berlari menuju  halte. Dan menumpangi bus yang membawaku ke sekolah. Di tengah perjalan menuju sekolah yang memakan waktu sekitar 15 menit, aku habiskan dengan membaca buku pelajaran. Sejak kecil, impianku adalah menjadi seorang yang pintar. Dan mulai Aku duduk di sekolah dasar keinginan itu semakin kuat. Hal itu terjadi mungkin karena tuntutan persaingan yang ketat, dorongan dari kedua orang tuaku. Oleh karena itu, Aku berusaha belajar dengan sungguh-sungguh.
                                                            ***
            Hari itu hari sabtu, hari ekskul di sekolahku. Dan adalah hari pertama ekskul setelah vocation. Di sekolahku setiap siswa wajib mengikuti paling kurang satu ekstrakurikuler. Aku mengikuti pelatihan olimpiade biologi dan ICT forum. Aku memilih itu karena aku paling suka pelajaran biologi, dan berhubung aku ingin menjadi dokter.
Setelah  dua jam berlalu, akhirnya Aku keluar dari kelas biologi. Aku langsung  menuju kantin. 
            ”Aduh...duuuh, sulit juga ternyata memahami materi mutasi, aku kira itu Cuma hapalan doank.”
            Di tengah perjalanan menuju kantin aku melihat Febby teman SMPku dulu sedang bergandeng mesrah dengan seorang cowok. Aku heran mengapa Febby seperti itu, padahal dulu ia anak yang alim. “Ah... aku tak mau tahu, lagian itukan bukan urusanku.”
Setelah makan di kantin aku langsung menuju ruang ICT. tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggilku. Ternyata Ridwan, dia adalah salah satu member ICT forum SMA Wira Bakti.
“ Eh... ternyata kamu masih ikut forum mi?”
“ Ya  dong, masa ngak, aku kan suka banget yang namanya IT”
“ Yeah..., oh ya mi kamu udah tau ngak kalau materi pertemuan kali ini tentang web design?”
“Oh yang benar?, berarti semua pertanyaanku tentang cara-cara mendisign web akan terjawab ntar. Hm... keren!” cetusku girang.
Setelah memasuki kelas, yang kali ini sebagai pemateri adalah Pak Hendra guru TIKku. Sebelum materi dimulai, Pak Hendra yang terkenal sebagai guru yang supel meminta siswa untuk memperkenalkan diri. Ternyata peserta forum kebanyakan masih peserta lama, hanya ada satu orang yang tak ku kenal. Seorang cowok tinggi kurus yang duduk di ujung, tatapannya tajam dan teduh. Sekarang tiba giliran cowok yang duduk di ujung itu.
“Nama saya Irfan Prasetio. Teman-teman bisa panggil saya dengan Irfan aja.”
“Eh mi...kamu dah tau ngak kalau dia tu anak pindahan”, kata Ridwan
“Ngak tu...”  jawab Ami
Setelah memperkenalkan diri barulah Bapak memberikan materi tentang web design. Dan ternyata materi ini memang sangat menarik bagi siswa. Setelah dua jam berlalu forum pun ditutup dan akan dilanjutkan Sabtu depan.
“Wah, keren materi kali ini memang menarik”, kata Ridwan
“Iya akhirnya semua pertanyaanku terjawab”, kata Ami
“Ami... ami!”
Terdengar suara Dian memanggilku. Aku langsung pergi meninggalkan ruang ICT. Kami berjalan sambil ngobrol menuju mesjid karena waktu itu sang raja siang sudah tepat di atas. Rina adalah teman sekelasku,kami satu meja. Ia  aktif dalam rohis. Rina adalah  ketua annisa’ SMA Wira Bakti.
“Ami kamu ngak jadi ikut Rohis ?”
“Sekarang kami ada forum yang temanya VMJ loh”
“VMJ?”
Ya itu “Virus Merah Jambu”
“Wah menarik tuh, ya dech Rin, setelah aku pikir-pikir kita juga harus menyeimbangkan antara dunia dan akhirat. Lagian setelah aku tamat SMP aku jarang mendapat santapan qalbu.”
”Nah, gitu donk, itu baru ami temanku.”
Sejak saat itu Aku lebih dekat dengan Tuhan. Aku mulai ikut aktivitas dakwah di sekolah. Di sana Aku mendapatkan sebuah titik terang tentang konsep pacaran. Yang mana ini tidak dibenarkan dalam islam. Islam sangat memuliakan kaum perempuan. Perempuan ibarat berlian yang harus dijaga dan dilindungi dengan sebaik-baiknya. Semakin baik cara merawatnya semakin tinggi nilai berlian tersebut. Akhirnya Aku sadar bahwa pikiran-pikiranku selama ini tentang pacaran  adalah cara Allah melindungiku dari gemerlap modernisasi. Terkadang manusia butuh waktu lama untuk memahami kebaikan yang dialami dalam hidupnya.
***
Ketika sang surya berjalan menuju titik puncak teriknnya. Saat itu Aku sedang mempersiapkan presentasi untuk lomba desing web yang akan diadakan Sabtu depan.  Tiba-tiba aku terkejut dengan suara pecahan kaca. Dan setelah kulihat ternyata sebuah gelas pecah di banting oleh Ibuku. Aku melihat Ibu menangis dan tiba-tiba Ayah pergi. Sejak saat itulah Aku tidak pernah bertemu dengan Ayah lagi.Sejak saat itu Aku membenci Ayah. kebencian yang mendalam karena penderitaan Ibu yang dikhianati. Akhirnya  membuatku menjadi benci kepada laki-laki. Inilah yang kemudian menjadi pondasi kuat komitmenku untuk tidak pacaran.
 Perceraian orang tuaku membutku hancur berkeping-keping, susah bagiku untuk menata hatiku kembali. Hanya satu yang membuatku semangat dalam gerimis hatiku dia adalah Ibuku sumber inspirasiku. Dialah semangatku, dialah ujung tombak juangku. Hanya itu yang membuatku bertahan.
***
Pagi itu ketika aku belajar matematika, ada seseorang yang mengetuk pintu. Lalu Ibu Dian guru matematikaku keluar dan kemudian aku terkejut ketiak Ibu dian memanggilku.
“Ya bu ada apa?”
 Kamu sekarang diminta Pak Hendra Kusuma segera ke Ruang ICT.
Lalu aku segera meninggalkan kelas. Dan  menuju ruang ICT. Setelah tiba disana aku disuruh Pak Hendra masuk. Ternyata disana ada Irfan juga.
“ Asslammualaikum Pak”,  sapaku
“ Walakum sallam”
 Bapak punya berita bagus, hasil design kamu dan Irfan ternyata lulus final”
“Bener pak?”, jawabku dengan mata berkaca-kaca. Aku tak percaya bahwa hasil karyaku bisa lulus final apalagi itukan tingkat provinsi.
“Kalian punya waktu seminggu untuk persiapan, apakah itu memperbaiki disign atau presentasinya nanti. Dan Bapak akan membantu kalian, kalian bisa datang ke sesini setelah pulang sekolah.”
“Ya pak terimakasih”, jawab mereka serentak
Setelah itu aku meninggalkan ruangan itu. Lalu Irfan memanggilku
“Ami... e.. hm... selamat ya”
“Kamu juga fan”
Oh ya waktu kita pertama kali forum  aku menemukan pena ini
Ia menunjukkan sebuah pena berwarna biru dan bertutup ukiran warna emas padaku. Mataku terbelalak melihatnya, itu adalah pena pemberian ayahku ketika ia tugas ke Swiss.
“Ini pasti punya kamu disini terukir Utami Wijoyo.”
“Iya, terimakasih banyak Fan, padahal waktu itu aku sampai menangis semalaman karena pena itu hilang, pena itu amat berarti bagiku”
“Oh ya, kalau begitu aku minta maaf aku terlambat memberikannya padamu, karena aku kesulitan untuk menemui kamu”.
“Ngak pa pa kok Fan, malah aku berterimakasih kamu udah nemuin pena itu”.  
“Kenapa sih pena itu sangat berarti buat kamu mi?”
Akupun menceritakan asal usul pena tersebut padanya.
            Seminggu penuh aku mencurahkan pikiran dan konsentrasiku untuk lomba tersebut. Sebagai team work Irfan selalu membantuku.
Perlombaan pun telah selesai. Alhamdulillah aku mendapat juara dua, sedangkan Irfan mendapat juara satu.
Hal itu membuatku bertambah kagum kepadanya. Kejadian itu membuat kami akrab. Apalagi kami menjadi team work dalam mempersiapkan lomba. Keakraban itu membuatku merasa menemukan bagian lain dalam hidupku. Irfan anak yang baik dan sopan walaupun ia tampak calm namun ia bisa menjadi teman yang menyenangkan. Kami saling berbagi cerita satu sama lain tentang masalah masing-masing. Akhirnya aku tahu dia juga berasal dari keluarga brokenhome. Aku kagum padanya ia begitu tegar dalam menghadapi hidup. Karena Irfan aku sadar bahwa hidup itu pilihan. Apakah kita memilih untuk terus bersedih atau bahagia.
 ***
Bunyi  desir angin menyapa ilalang dan menerbangkan bunga-bunga yang lemah. Selalu disini, hanya disini aku mengapungkan semua masalahku dan berharap semuanya terbang dan berlalu. Seperti bunga-bunga itu.
Apa yang harus aku lakukan? Selama ini Irfan selalu baik padaku. Selalu menemaniku. Aku dapat tegar karena dia ada disampingku. 
Suara gemerisik kaki menyadarkanku.
“Hai!”
            Aku terpaku dia didepanku. Kami membisu, hanya ilalang yang setia menyapa. Keheningan ini menyesakkan dan menyakitkan. Irfan menatapku dan dia tahu aku menolak tatapannya. Dan Aku menyainkan diri untuk untuk menghentikan keheningan ini.
            Tiba-tiba ponselku berdering. “Papa?  Ah peduli amat!” kubiarkan saja ia terus berdering.
            Tanpaknya Irfan memperhatikanku. Dia tahu aku sengaja tidak mengangkat telphon itu. Dan aku yakin dia juga tahu dari siapa telepon itu.
            Sampai ponsel itu berhenti berdering aku masih tetap membisu dan Irfan menemaniku dalam diam.
            aku mulai bicara untuk memecah keheningan.
“ Tadi papa datang kesekolah, Aku ngak bisa maafin Dia. Dia telah nyakitin Ibu.
Fan apakah Aku harus maafi Dia ?”
Irfan hanya diam dia tak menjawab pertanyaanku. Ia hanya menatapku. Mata itu...
Mata yang selalu meneduhkanku.
“ Mi, Tuhan saja yang menciptakan manusia mau menerima tobat, kenapa kita sesama manusia ngak bisa untuk memaafkan?” ucap Irfan sambil tersenyum tipis.
Mendengar itu aku merasa sedikit sakit dan malu, malu kepada Tuhan kenapa kau begitu sombong.
Irfan menatapku dengan mata itu, tatapan itu kini jauh lebih lembut. Bagai angin yang membawa serpihan masalahku pergi. Tiba-tiba ia menatap langit. “Aku akan berusaha untuk mengobati luka hatimu.” Dan ia menunduk
“Aku sayang sama kamu, Mi....?”
Aku terkejut mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya. Aku  tetap diam, dan tidak tahu harus berbuat apa. Bahkan untuk bergerkpun aku tak mampu.
“Aku menunggu kamu membuka pintu hati yang selama ini kamu tutup.... tapi kayaknya percuma ”  Irfan kini terdiam.
Perlahan aku mendongak. Untuk pertama kalinya, aku menatap mata Irfan. Mata itu begitu lembut. Aku merasakan dadaku sesak.
“ Astagfirullahalazim!Aku telah berdosa, tidak sepantasnya kau begini” dalam hatiku
Kemelut dalam hatiku tak dapat Ku bendung. Aku berusaha berlari jauh meninggalkan Irfan untuk menghentikan kekacauan hatiku. Lalu aku meninggalkan tempat itu dengan berlari tanpa menoleh kebelakang. Aku tak peduli apa pikiran Irfan padaku saat itu.
***
            Sejak pernyataan Irfan kepadaku tempo hari, hari-hariku penuh dengan konflik dalam batinku. Aku sadar bahwa selama ini aku telah melampaui hijabku sebagai perempuan. Dan yang paling menghinakan adalah ketika Aku mulai merasakan bahwa hatiku merasa simpatik padanya. Orang yang aku rasa telah berhasil mengubah persepsiku tentang laki-laki. Dan karena itu Aku merasa sekeping hatiku telah ditemukan. Sekeping  hati yang selama ini masih kunantikan.
Sejak kejadian itu Irfan tampaknya agak sedikit menghindar dariku, ia mersa bersalah padaku. Walaupun aku telah mengatakan padanya bahwa ia tidak bersalah. Tapi sikapku masih seperti yang dulu padanya. akhirnya Dia pun tak mempermasalahkan hal itu, karena ia bisa menerima alasanku.
Tapi aku merasa membohongi diriku tentang jawabanku atas pertanyaannya waktu itu. Memang tak ada pengakuan ataupun kata-kata yang pernah terucap.
 Semua itu masih terhalang oleh rasa malu yang membelengguku. Rasa malu yang tersisa dari keimananku.
            Rasa ini kadang melemah yang membuat rasa asing itu menguat dan hampir menanggalkan rasa maluku. Datang dan mengakui perasaanku padanya. Mengakui perasaan yang selama ini menyiksaku.
“Ini sungguh menyiksaku. Apakah  ini azab?” lirih Ami
            Ketika Aku sadar bahwa itu tak halal bagiku Aku pun tersungkur, sujud dan menangis kepada Nya, mengapa ia mengizinkanku merasakan semua ini. Dalam setiap do’a ku. Aku selalu memohon rasa itu hilang. Aku malu dan menyesal sebuah ketidak berdayaanku dalam menghadapi kelemahan hati. Aku merasa semuanya menjadi bumerang.
            Hari-hari ku lalui untuk berjuang menata perasaanku. Berusaha menyimpan  rasa itu dan berusaha agar ia tidak menjadi sebuah pengakuan. Aku berharap semoga semua ini hanya tinggal tak berbekas. “Biarlah semuanya menjadi kepingan waktu yang terlupakan”, itulah statusku di facebook malam itu.
                                                            ***
            Setahun telah berlalu, sekarang Aku tinggal bersama Ibuku di Bandung. Hari-hari kulalui dengan senyuman dan keikhlasan. Satu tahun pula aku telah meninggalkan kota Jakarta. Mendadak waktu itu Ibu mengurus kepindahanku. Padahal lima bulan lagi aku ujian nasional.Dan akhirnya Aku duduk di bangku kuliah. Setelah perjuanganku Aku bisa lulus di fakultas yang ku inginkan. Seperti apa yang diharapkan Ibuku, anaknya bisa menjadi seorang dokter.
Walaupun setahun adalah waktu yang panjang tapi itu ternyata tak cukup untuk membasmi tuntas rasa aneh itu dari hatiku. Aku selalu menghibur diriku, bahwa dengan jarak yang memisahkan, maka rasa itu akan pupus. Ternyata melupakan tidaklah semudah yang ku pikirkan. Setan memang hebat memainkan perannya. Kebetulan aku melihat Irfan berjalan di depanku selepas salat Ashar di sebuah mesjid di kampus. Ia begitu terlihat berbeda dari yang dulu. cahaya wajahnya begitu jauh lebih terang dan bersih. Ia tampak akrab dengan para ikwan Islami senter. Senyumnya masih seperti yang dulu, senyum yang dirangkai dengan gigi yang tertata indah.  Aku pun menyimpan sebuah harapan hampa tentang dirinya. Apakah ia akan menjadi sosok yang dinanti. Entahlah....
            Diatas segala cinta hanya kecintaan kepada Allah, Rasul, Islam, dan Ibulah yang utama bagiku. Itulah yang menguatkanku menghapus rasa itu di hatiku. Semoga ia tak menjadi merah jambu lagi. “Semuanya itu tak pantas digantikan hanya dengan sesuatu yang bermula dari kelemahan hati”, tegasku
Chayo! Hamasah! Ihris !     
KARYA MASYITHAH
                  KELAS XII.IPA.SBI